Pada awal Juli 2025, Kota Mataram mengalami salah satu bencana alam terburuk dalam sejarahnya. Banjir besar melanda sejumlah wilayah, merendam pemukiman warga, merusak jalan-jalan utama dan memaksa ribuan orang mengungsi. Tinggi air yang mencapai lebih dari satu meter menandai bahwa bencana kali ini bukan sekadar musibah biasa, melainkan alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat.
Wali Kota Mataram, Mohan Roliskana, menyebut bencana ini sebagai banjir terbesar dan tertinggi yang pernah terjadi di wilayahnya. Bahkan, menurut laporan BPBD NTB, setidaknya 12.478 rumah terdampak, 32 sekolah tergenang dan lebih dari 4.000 warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Kondisi ini memperlihatkan dengan sangat gamblang bahwa perubahan iklim dan buruknya pengelolaan lingkungan telah menjelma menjadi masalah serius yang tak bisa lagi diabaikan.
Ketika Perubahan Iklim Menyatu dengan Ketidaksiapan Kota
Indonesia termasuk negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Berdasarkan data dari World Bank, suhu rata-rata Indonesia meningkat sekitar 0,3°C setiap dekade sejak tahun 1960. Dampaknya, musim hujan menjadi semakin tidak menentu, dengan intensitas hujan yang jauh lebih tinggi dalam waktu singkat.
Inilah yang terjadi di Mataram. Curah hujan tinggi yang seharusnya bisa ditangani oleh sistem drainase kota, malah menjadi malapetaka karena sistem tersebut sudah lama tidak diperbarui dan tidak memadai untuk volume air ekstrem. Dalam satu hari, curah hujan di beberapa titik di Mataram tercatat mencapai 128 mm, jauh di atas rata-rata harian normal yang hanya sekitar 60-70 mm.
Perubahan iklim bukan lagi isu global yang jauh dari keseharian. Banjir Mataram membuktikan bahwa kita sudah berada dalam situasi darurat iklim.
Sungai Penuh Sampah: Luka Lama yang Membusuk
Video yang beredar di media sosial memperlihatkan warga yang bergotong-royong membersihkan tumpukan sampah dari sungai dan saluran air. Plastik, kayu, limbah rumah tangga, dan bahkan bangkai hewan menyumbat aliran sungai yang seharusnya menjadi jalur utama pengaliran air hujan ke laut.
Ironisnya, tumpukan sampah itu bukan datang tiba-tiba. Ini adalah hasil dari kebiasaan buruk yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Kebiasaan membuang sampah ke sungai masih dianggap “normal” oleh sebagian warga. Salah satu cerita warga menyebut bahwa dirinya diminta membuang sampah ke sungai karena tempat sampah umum yang disediakan pemerintah malah digembok. Hal ini mencerminkan lemahnya sistem pengelolaan sampah kota yang seharusnya menjadi garis pertahanan pertama dalam menghadapi banjir.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram (DLH), jumlah sampah yang dihasilkan warga Mataram setiap hari mencapai 400 ton, namun hanya sekitar 290 ton yang berhasil diangkut dan diproses. Artinya, lebih dari 100 ton sampah berpotensi terbuang ke lingkungan setiap harinya.
Sampah di sungai bukan hanya memperparah banjir, tapi juga merusak ekosistem, mencemari air tanah, dan menjadi sarang penyakit. Sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru berubah menjadi sumber petaka.
Penataan Kota yang Tidak Tanggap Bencana
Salah satu aspek krusial yang turut memperparah banjir di Mataram adalah penataan kota yang belum berbasis mitigasi bencana. Lahan-lahan hijau dan resapan air kini telah berubah fungsi menjadi area komersial, pusat perbelanjaan, atau perumahan tanpa mempertimbangkan aspek ekologis.
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Mataram menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, lahan hijau kota menyusut hingga 23% akibat alih fungsi lahan. Padahal, area resapan air berperan penting untuk menahan dan mengalirkan air hujan secara alami.
Lebih parah lagi, sistem drainase kota banyak yang tidak terawat. Saluran air yang sempit, dangkal, dan tersumbat membuat air tidak mampu mengalir dengan baik. Dalam banyak kasus, air justru meluap kembali ke jalanan atau rumah warga.
Tanpa penataan ulang yang berbasis lingkungan dan risiko bencana, banjir akan menjadi “tamu tahunan” yang menyengsarakan.
Saatnya Membangun Kesadaran Kolektif
Mataram tidak bisa mengandalkan solusi darurat selamanya. Masyarakat dan pemerintah harus mulai membangun kesadaran kolektif untuk mengubah cara hidup, cara membuang sampah, serta cara memperlakukan lingkungan.
Pendidikan lingkungan hidup perlu diperkuat, mulai dari sekolah dasar hingga masyarakat umum. Sosialisasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan sungai, memilah sampah dan tidak membuang limbah sembarangan harus dilakukan secara berkelanjutan.
Di sisi lain, pemerintah harus memastikan akses yang adil terhadap layanan pengelolaan sampah. Jangan sampai fasilitas pembuangan yang digembok justru mendorong masyarakat untuk memilih cara cepat yang salah.
Perubahan perilaku adalah pondasi penting. Namun, perubahan kebijakan juga tak kalah penting. Insentif bagi warga yang aktif mengelola sampah, sanksi bagi pelanggar, serta pengawasan terhadap alih fungsi lahan harus menjadi prioritas.
Mataram Bisa Bangkit Lebih Baik
Meskipun bencana ini menyakitkan, Mataram punya kesempatan untuk bangkit lebih baik. Kota ini bisa menjadi model bagi kota-kota lain dalam membangun ketahanan iklim - jika berani mengambil langkah strategis sekarang.
Langkah-langkah seperti:
- Revitalisasi drainase dan saluran air utama
- Penambahan dan pemulihan lahan hijau
- Perbaikan sistem pengangkutan dan pemrosesan sampah
- Penataan ulang wilayah padat penduduk yang rawan banjir
- Kampanye massal lingkungan berbasis komunitas
Hal tersebut tentu bisa menjadi awal dari perubahan yang nyata.
Bencana Adalah Peringatan, Bukan Takdir
Banjir terbesar dan tertinggi di Kota Mataram adalah hasil dari kombinasi antara perubahan iklim, perilaku manusia dan ketidaksiapan sistem perkotaan. Ini bukan takdir yang tidak bisa dihindari, tetapi konsekuensi dari kelalaian kolektif.
Namun, dari bencana ini juga lahir peluang: untuk berubah, untuk memperbaiki, dan untuk membangun kota yang lebih tangguh dan ramah lingkungan. Semoga Mataram, dan kota-kota lain di Indonesia, bisa mengambil pelajaran penting dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
